Motivasi - Pengorbanan yang dianggap benar.
Pengorbanan yang dianggap benar. |
Setelah dewasa, saya akhirnya memasuki usia perkimpoian, dan secara perlahan –
lahan saya pun mengetahui akan jawaban ini.
Di masa awal perkimpoian, saya juga sama seperti ibu, berusaha menjaga keutuhan
keluarga, menyikat panci dan membersihkan lantai, dengan sungguh-sungguh
berusaha memelihara perkimpoian sendiri.
Anehnya, saya tidak merasa bahagia ; dan suamiku sendiri, sepertinya juga tidak
bahagia.
Saya merenung, mungkin lantai kurang bersih, masakan tidak enak, lalu, dengan
giat saya membersihkan lantai lagi, dan memasak dengan sepenuh hati.
Namun, rasanya, kami berdua tetap saja tidak bahagia. .
Hingga suatu hari, ketika saya sedang sibuk membersihkan lantai, suami saya
berkata : istriku, temani aku sejenak mendengar alunan musik!
Dengan mimik tidak senang saya berkata : apa tidak melihat masih ada separoh
lantai lagi yang belum di pel ?
Begitu kata-kata ini terlontar, saya pun termenung, kata-kata yang sangat tidak asing
di telinga, dalam perkimpoian ayah dan ibu saya, ibu juga kerap berkata begitu sama
ayah.
Saya sedang mempertunjukkan kembali perkimpoian ayah dan ibu, sekaligus
mengulang kembali ketidakbahagiaan dalam perkwinan mereka.
Ada beberapa kesadaran muncul dalam hati saya.
Yang kamu inginkan ?
Saya hentikan sejenak pekerjaan saya, lalu memandang suamiku, dan teringat akan
ayah saya…
Ia selalu tidak mendapatkan pasangan yang dia inginkan dalam perkimpoiannya,
Waktu ibu menyikat panci lebih lama daripada menemaninya.
Terus menerus mengerjakan urusan rumah tangga, adalah cara ibu dalam
mempertahankan perkimpoian, ia memberi ayah sebuah rumah yang bersih, namun,
jarang menemaninya, sibuk mengurus rumah, ia berusaha mencintai ayah dengan
caranya, dan cara ini adalah mengerjakan urusan rumah tangga.
Dan aku, aku juga menggunakan caraku berusaha mencintai suamiku.
cara saya juga sama seperti ibu, perkimpoian saya sepertinya tengah melangkah ke
dalam sebuah cerita, dua orang yang baik mengapa tidak diiringi dengan
perkimpoian yang bahagia.
Kesadaran saya membuat saya membuat keputusan (pilihan) yang sama.
Saya hentikan sejenak pekerjaan saya, lalu duduk di sisi suami, menemaninya
mendengar musik, dan dari kejauhan, saat memandangi kain pel di atas lantai
seperti menatapi nasib ibu.
Saya bertanya pada suamiku : apa yang kau butuhkan ?
Aku membutuhkanmu untuk menemaniku mendengar musik, rumah kotor sedikit
tidak apa-apa-lah, nanti saya carikan pembantu untukmu, dengan begitu kau bisa
menemaniku! ujar suamiku.
Saya kira kamu perlu rumah yang bersih, ada yang memasak untukmu, ada yang
mencuci pakianmu….dan saya mengatakan sekaligus serentetan hal-hal yang
dibutuhkannya.
Semua itu tidak penting-lah! ujar suamiku. Yang paling kuharapkan adalah kau bisa
lebih sering menemaniku.
Ternyata sia-sia semua pekerjaan yang saya lakukan, hasilnya benar-benar
membuat saya terkejut.
Kami meneruskan menikamti kebutuhan masing-masing, dan baru saya sadari
ternyata dia juga telah banyak melakukan pekerjaan yang sia-sia, kami memiliki cara
masing-masing bagaimana mencintai, namun, bukannya cara pihak kedua.
Jalan kebahagiaan
Sejak itu, saya menderetkan sebuah daftar kebutuhan suami, dan meletakkanya di
atas meja buku,
Begitu juga dengan suamiku, dia juga menderetkan sebuah daftar kebutuhanku.
Puluhan kebutuhan yang panjang lebar dan jelas, seperti misalnya, waktu senggang
menemani pihak kedua mendengar musik, saling memeluk kalau sempat, setiap
pagi memberi sentuhan selamat jalan bila berangkat.
Beberapa hal cukup mudah dilaksanakan, tapi ada juga yang cukup sulit, misalnya
dengarkan aku, jangan memberi komentar.
Ini adalah kebutuhan suami. Kalau saya memberinya usul, dia bilang akan merasa
dirinya akan tampak seperti orang bodoh.
Menurutku, ini benar-benar masalah gengsi laki-laki.
Saya juga meniru suami tidak memberikan usul, kecuali dia bertanya pada saya,
kalau tidak saya hanya boleh mendengar dengan serius, menurut sampai tuntas,
demikian juga ketika salah jalan.
Bagi saya ini benar-benar sebuah jalan yang sulit dipelajari, namun, jauh lebih santai
daripada mengepel, dan dalam kepuasan kebutuhan kami ini, perkimpoian yang
kami jalani juga kian hari semakin penuh daya hidup.
Saat saya lelah, saya memilih beberapa hal yang gampang dikerjakan, misalnya
menyetel musik ringan, dan kalau lagi segar bugar merancang perjalanan keluar
kota .
Menariknya, pergi ke taman flora adalah hal bersama dan kebutuhan kami, setiap
ada pertikaian, selalu pergi ke taman flora, dan selalu bisa menghibur gejolak hati
masing-masing.
Sebenarnya, kami saling mengenal dan mencintai juga dikarenakan kesukaan kami
pada taman flora, lalu bersama kita menapak ke tirai merah perkimpoian, kembali ke
taman bisa kembali ke dalam suasana hati yang saling mencintai bertahun-tahun
silam.
Bertanya pada pihak kedua : apa yang kau inginkan, kata-kata ini telah
menghidupkan sebuah jalan kebahagiaan lain dalam perkimpoian. Keduanya
akhirnya melangkah ke jalan bahagia.
Kini, saya tahu kenapa perkimpoian ayah ibu tidak bisa bahagia, mereka terlalu
bersikeras menggunakan cara sendiri dalam mencintai pihak kedua, bukan
mencintai pasangannya dengan cara pihak kedua.
Diri sendiri lelahnya setengah mati, namun, pihak kedua tidak dapat merasakannya,
akhirnya ketika menghadapi penantian perkimpoian, hati ini juga sudah kecewa dan
hancur.
Karena Tuhan telah menciptakan perkimpoian, maka menurut saya, setiap orang
pantas dan layak memiliki sebuah perkimpoian yang bahagia, asalkan cara yang kita
pakai itu tepat, menjadi orang yang dibutuhkan pihak kedua! Bukannya memberi
atas keinginan kita sendiri, perkimpoian yang baik, pasti dapat diharapkan.
Comments
Post a Comment